Kapal Pinisi, Pelabuhan Sunda Kelapa dan Cerita Tentang Bapa



Tidak banyak anak masa kini yang masih mengenal Kapal Pinisi, kapal layar khas Bugis yang mulai ditinggalkan jaman. Kini kapal-kapal layar yang parkir di Pelabuhan Sunda Kelapa itu sudah semakin sedikit jumlahnya. Anak-anak muda yang memiliki background pendidikan pelayaran jelas lebih memilih bekerja di kapal-kapal besar atau kapal pesiar dengan gaji fantastis. ABK (anak buah kapal) yang masih setia dengan Kapal Pinisi akhirnya hanyalah orang-orang dari jaman bapak saya, paling muda usianya di atas 40an tahun. Lalu bagaimana nasib Kapal Pinisi selanjutnya? Mungkin akan sama dengan kapal-kapal tradisional lainnya yang sekarang hanya tinggal replikanya saja yang bisa kita temukan di museum-museum transportasi.

Bagi saya, Kapal Pinisi dan Pelabuhan Sunda Kelapa memiliki keterikatan khusus dengan sejarah hidup saya. Alasannya jelas, karena keluarga saya menggantungkan hidup dari pekerjaan Bapa di kapal tradisional ini. Bapa saya itu keturunan Bugis yang sejak kecil sudah bekerja menjadi ABK Kapal Pinisi. Beliau bukan lulusan sekolah pelayaran pastinya, sekolah dasar pun konon tidak sampai tamat. Mungkin di jamannya, sekolah formal belum menjadi prioritas utama. Tetapi kalau ditanya apakah beliau mampu membaca kompas? Atau apakah beliau mampu mengemudikan Kapal Pinisi? Saya bisa pastikan beliau tidak kalah dari mereka yang lulusan sekolah pelayaran. Bahkan Bapa saya itu jago menyelam tanpa menggunakan alat apapun. Saya sih boro-boro menyelam, berenang saja bisanya cuma gaya batu, hehe.  


Berlayar dengan Kapal Pinisi menjadi pekerjaan seumur hidup yang enggan ditinggalkan Bapa entah karena apa. Mungkin semangatnya mencari nafkah untuk keluarga yang membuatnya begitu kuat mengabaikan penyakit tuanya. Bodohnya, saya pun tidak pernah tahu kalau Bapa saya ternyata mengalami kerusakan ginjal karena memang beliau selalu menolak untuk periksa ke rumah sakit. Bengkak di kakinya dianggap biasa, hilang begitu saja setelah cukup beristirahat dan minum obat asam urat. Beliau memang luar biasa, lelaki pendiam yang tidak pernah mengeluh meskipun saya tahu persis hidupnya selama ini tidak mudah. Beliau bekerja keras demi anaknya tetap bisa bersekolah dan tercukupi kebutuhan hidupnya. Sayangnya, dulu saya tidak pernah melihat Bapa dari sudut pandang itu hingga akhirnya selalu mengeluh dan merasa Bapa tidak menyayangi saya. Padahal harapan saya ketika itu hanya sesederhana Bapa bisa sekali saja mengambilkan rapor sekolah saya seperti anak-anak lainnya. Pikiran-pikiran remaja saya yang penuh tuntutan membuat hubungan kami akhirnya tidak terlalu baik. Saya merasa semakin berjarak dengan Bapa dan puncaknya ketika saya memintanya berhenti melaut lagi. Beliau marah. Ya, beliau marah karena ucapan saya terkesan menghina pekerjaannya. Pekerjaan yang telah membuat saya bisa sampai ke titik kemandirian saat ini. Saya merasa sesak setiap kali mengingat momen-momen itu. Terlalu banyak sesal yang memenuhi dada saya. Dan semoga beliau kini sudah bahagia di alam sana.



Setelah kepergian Bapa, saya pernah mengajak Pak Suami ke Pelabuhan Sunda Kelapa. Kebetulan sedang ada kapal sepupu saya yang bersandar disana, jadi kami bisa main-main ke atas kapalnya. Ternyata mendatangi tempat yang penuh kenangan itu sedikit melegakan perasaan. Saya juga bisa melihat bagaimana kerasnya kehidupan pelabuhan yang dulu dijalani Bapa. Dan akhirnya saya yakin, beliau bukan tidak ingin mencari pekerjaan lain agar bisa berkumpul setiap hari dengan keluarganya, tetapi memang hanya berlayar yang menjadi keahliannya. Selain itu, sepertinya melaut sudah menjadi bagian hidup yang mendarah-daging baginya.

Saya ingat, dulu sekali saat saya masih usia lima tahunan, Bapa sering mengajak saya main ke Pelabuhan Sunda Kelapa ketika kapalnya sedang bersandar. Pelabuhan yang ramai dengan hiruk pikuk manusia yang beraktivitas mulai dari bongkar muat barang sampai pedagang kaki lima yang sibuk menjual makanan dan minuman karena dulu memang belum ada larangan berjualan disana. Sampan-sampan pun hilir mudik mengangkut penumpang dari dan menuju pelabuhan ini. Sekarang pemandangan seperti itu tidak lagi saya dapatkan, Pelabuhan Sunda Kelapa bukan lagi pelabuhan utama untuk kegiatan perdagangan. Pelabuhan tertua ini telah tergerus jaman, hanya menjadi situs sejarah kota Jakarta yang ramai dikunjungi orang-orang untuk sekedar berfoto dan berwisata.

Jaman sudah berubah dan Pelabuhan Sunda Kelapa sudah kehilangan masa jayanya. Kini yang tersisa hanya ingatan di kepala saya. Seperti juga sosok Bapa yang akan terus hidup dalam ingatan saya. Lelaki pertama yang mengajarkan saya makna cinta tanpa perlu banyak bicara.





No comments