Stop Nyinyir, Baby Blues Bukan Tentang Iman Seseorang

Sering dengar tentang baby blues atau postpartum depression akhir-akhir ini? Atau malah suka ikutan nyinyirin mereka yang mengalami baby blues atau postpartum depression?


Saya sebenarnya berat untuk menulis tentang ini karena khawatir nantinya malah mendapat nyinyiran bahkan cibiran yang bikin naik darah. Jauh sebelum saya melahirkan, bahkan jauh sebelum saya menikah, istilah baby blues ini sudah cukup akrab di telinga karena teman saya sendiri mengalaminya dan saya menjadi saksi betapa dia tersiksa dengan kondisinya. Dia yang baru saja melahirkan anak pertamanya, yang seharusnya berbahagia, yang sepatutnya sedang sayang-sayangnya pada bayi mungilnya tetapi justru tampak membenci makhluk kecil tanpa dosa yang telah dilahirkannya itu. Apa yang salah?

Pernah merasa dikhianati kenyataan? Saya sering, tetapi yang paling membuat saya shock adalah ketika saya dihadapkan pada pilihan untuk melahirkan secara caesar. Saya tidak mempersiapkan diri untuk kondisi itu karena selama 9 bulan masa kehamilan, dokter bilang semuanya baik-baik saja dan saya bisa melahirkan secara normal. Saya pun rajin senam hamil, jalan kaki, main gym ball dan rajin memberikan afirmasi pada bayi saya untuk bisa lahir normal. Tetapi kenyataan berkata lain dan bayi saya memilih lahir dengan jalan operasi caesar. Kecewa itu pasti, tetapi begitu melihat kondisi bayi saya sehat dan lengkap semua kekecewaan itu terobati. Meskipun selanjutnya saya harus siap mendengarkan celetukan-celetukan yang bilang "bayinya kecil kok caesar sih, kalau lahiran di Puskesmas pasti bisa normal". Kesal? Pasti, apalagi emosi ibu yang baru melahirkan itu seperti roller coaster. Celetukan seringan itu pun bisa berefek besar, kadang sampai membuat saya ikut merutuki diri saya sendiri dan merasa kurang berupaya.  

Tidak berhenti sampai disitu saja, begitu keluar rumah dan tetangga melihat kondisi perutmu pasca melahirkan maka akan mulai bermunculan celetukan seperti "Lahirannya caesar ya? Pantesan perutnya masih kayak orang hamil, kalau lahiran normal mah cepat kempesnya". Dalam kondisi normal, saya akan cuek saja mendengar komentar seperti itu. Tetapi pasca melahirkan, mendengarnya langsung membuat saya buru-buru berkaca dan begitu melihat bentuk tubuh saya yang tidak karuan rasanya kepala langsung nyut-nyutan. Lalu mulailah terngiang-ngiang cerita teman saya bertahun lalu tentang pacarnya yang menceraikan istrinya dengan alasan body-nya tidak lagi sedap dipandang mata setelah melahirkan. Cerita itu terus menerus menghantui kepala saya seperti film horor. Please, jangan bilang saya lebay kalau belum pernah merasakan hal yang sama.

Efek samping dari kekacauan pikiran saya itulah yang mungkin menjadi salah satu pemicu seretnya ASI saya dan akhirnya berakibat bilirubin bayi saya tinggi. Padahal saya terbilang rajin menyusui meskipun puting lecet dan berdarah-darah. Saya juga rajin makan dengan porsi yang cukup banyak. Tetapi entah kenapa ASI yang keluar tidak sebanyak yang diharapkan. Komentar-komentar negatif yang bikin sakit kepala kembali bermunculan. Dibilang kurang subur lah, dibilang ASI seret karena melahirkan secara caesar lah, intinya semua karena salah saya dan itu membuat saya semakin stress. Saya mulai merasa tidak becus sebagai ibu. Saya merasa tidak pantas menjadi ibu karena tidak mampu memenuhi kebutuhan bayi saya sendiri. Akhirnya saya sering menangis tidak jelas dan curhat tidak jelas juga ke Pak Suami.   


Lalu kapan saya mulai menyadari bahwa saya mengalami baby blues? Ketika saya merasa begitu putus asa dan mulai bertingkah aneh. Misalnya saat bayi saya menolak untuk menyusu maka saya akan ngomel-ngomel sambil menelanjangi dia sampai menangis dan akhirnya membuka mulut untuk menyusu. Setelah itu baru saya merasa bersalah lalu menangis sejadi-jadinya. Puncaknya adalah ketika saya menitipkan bayi saya pada tetangga yang biasa membantu beres-beres rumah lalu pergi seharian tanpa kabar. 

Kenapa saya memilih pergi? Karena hanya itu satu-satunya cara yang terpikirkan selain keinginan untuk mati. Ya, se-lebay itu memang. Mungkin orang lain akan mengatakan saya kurang iman, saya kurang ibadah, kurang shalat, kurang ngaji, pokoknya kurang semuanya dan saya tidak akan menampik itu. Cukup saya dan Allah saja yang tahu seberapa sering saya absen dan bersimpuh di hadapan-Nya. Tetapi apa keinginan untuk mati masih bisa dibilang karena kurang iman kalau terjadi pada perempuan paling shalih seperti Maryam?

Pic from http://inspirasihidupmasakini.blogspot.com
Bahkan ucapan Ibu dari Nabi Isa AS itu sampai diabadikan dalam Surat Maryam ayat 22-23 yang artinya Allah pun memahami kondisi Maryam saat itu dan tidak menyudutkannya hanya karena mengeluh dan memiliki keinginan untuk mengakhiri hidupnya.

"Dan kisahkanlah dÑ– dаlаm KÑ–tаb (Al-Qur’an) tеntаng Mаrуаm, kеtÑ–kа іа mеnjаuhkаn dÑ–rÑ– dari kеluаrgаnуа ke Ñ•uаtu tеmраt dÑ– ѕеbеlаh tÑ–mur. Rаѕа ѕаkÑ–t hеndаk mеlаhÑ–rkаn mеmbаwаnуа раdа роhоn kurmа, іа bеrkаtа: “Oh, alangkah bаіknуа aku mаtÑ– ѕеbеlum Ñ–nÑ–, dan аku menjadi ѕеѕuаtu yang tak berarti dаn dÑ–luраkаn.”". 

Jadi, cobalah sedikit berempati pada perempuan-perempuan yang mengalami depresi setelah melahirkan. Jangan cuma bisa menghujat tanpa tabayun terlebih dulu. Kalau kamu pernah melahirkan dan merasa semuanya normal-normal saja tolong jangan lantas menghujat kami yang pernah mengalami baby blues dengan tudingan manja, baperan, sensian, lebay, kurang iman, kurang pendidikan dan stigma negatif lainnya. Kompleksitas otak manusia itu tidak terbatas, kami masih beruntung karena cukup waras untuk tidak menyakiti bayi kami sendiri. Coba lihat berita yang akhir-akhir ini marak di media mengenai ibu yang depresi hingga berujung bunuh diri bersama bayinya yang baru berusia 4 bulan. Hati ibu mana yang tidak teriris mendengar berita itu? Lalu siapa yang harus disalahkan? Bisakah seenaknya kita menghakimi ia kurang iman?  

Baby blues ataupun postpartum depression itu nyata dan benar-benar ada di sekitar kita, jadi stop berkomentar nyinyir mengenai mereka. Kalau tidak bisa menjadi bagian dari support system yang mereka butuhkan, bijaklah untuk menahan komentar negatif terhadap kondisi mereka. Sebenarnya ibu yang baru melahirkan hanya perlu mendengar ucapan selamat tanpa embel-embel lainnya. Please, be empathy.   

1 comment